Belakangan, istilah toxic masculinity semakin populer, terutama dalam pembicaraan mengenai kesetaraan gender. Apa itu sebenarnya toxic masculinity? Sesuai namanya yang berkonotasi negatif, istilah ini menganggap bahwa emosi adalah tanda kelemahan laik-laki. Laik-laki dituntut untuk selalu kuat, tidak kenal lelah, dan tidak mudah.
Padahal, laik-laki sama dengan wanita sebagai manusia. Tuntutan-tuntutan laik-laki untuk berkarakter tangguh justry bisa berdampak negatif untuk kesehatan mentalnya. Memahami apa itu toxic masculinity membuka kesempatan untuk meningkatkan kesehatan mental dan ruang yang mendukung semua orang.
Apa Itu Toxic Masculinity?
Istilah toxic masculinity tidak lepas dari kata masculinity itu sendiri. Menurut Psyh.org, masculinity atau maskulinitas adalah peran, perilaku, dan atribut yang dianggap pantas bagi laik-laki—anak-anak, remaja, juga dewasa—dalam masyarakat tertentu. pada norma dan perilaku budaya terkait dengan peran tradisional dan harapan masyarakat terhadap laik-laki.
Sedangkan, toxic masculinity berakar dari ide bahwa mengekspresikan kerentanan atau ketidakmampuan dari atribut atau perilaku tersebut adalah tanda kelemahan laik-laki. Istilah ini, menurut Health.com, muncul pada akhir abad ke-20 atau awal tahun 2000-an.
Sifat-sifat seperti dominasi, menahan emosi, dan agresif, adalah beberapa di antara sifat yang ditekankan oleh toxic masculinity. Sifat-sifat tersebut pada kenyataan berdampak negatif. Banyak laik-laki tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka harus menahan perasaan. Bahkan, ketika mereka berjuang dengan masalah seperti kecemasan dan depresi.
Toxic masculinity menimbulkan stigma bahwa laik-laki harus “kuat” sendiri. Akibatnya, laik-laki sering merasa tertekan untuk mengatasi masalah mereka sendiri tanpa dukungan. Hal ini berpotensi menciptakan siklus berupa laik-laki yang tidak hanya merasa terisolasi, tapi juga berpotensi mengalami masalah yang lebih serius seiring berjalannya waktu.
Itulah pentingnya memahami apa itu toxic masculinity yang tidak hanya merugikan seseorang, tapi juga memengaruhi hubungan interpersonal dan komunitas secara menyeluruh.
Baca Juga: Mental Health adalah Menjaga Keseimbangan Pikiran, Jiwa, dan Perasaan
Apa Aspek-Aspek Inti Toxic Masculinity Itu?
Ada beberapa aspek atau karakter dari maskulinitas yang sebenarnya merugikan karena merupakan serangkaian ekspektasi sosial yang membatasi perilaku seseorang. Dampaknya, dapat menghambat ekspresi diri yang autentik dan membangun hubungan yang lebih sehat.
1. Emosi yang ditahan
Banyak laki-laki dibesarkan dengan ajaran untuk menahan emosi dan memandang kerentanan sebagai tanda kelemahan.
2. Agresif dan dominan
Toxic masculinity mendorong pandangan bahwa laki-laki harus selalu dominan dan agresif, seperti melakukan perundungan, kekerasan dalam rumah tangga, atau bentuk lainnya.
3. Antifeminin
Laki-laki jadi memiliki perlawanan yang kuat terhadap hal-hal yang dianggap feminin, seperti menghindari bersikap empati dan kasih sayang karena dianggap tidak “jantan.”
4. Senang mengambil risiko
Mereka merasa perlu mengambil risiko atau perilaku berbahaya sebagai bukti maskulinitas mereka, seperti penyalahgunaan narkoba atau mengemudi secara gegabah.
Dampak Apa Itu Toxic Masculinity
Maskulinitas toksik dapat menimbulkan beberapa dampak buruk pada individu dan masyarakat. Berikut lima dampak signifikannya:
1. Masalah kesehatan mental
Laik-laki yang tunduk pada norma maskulinitas toksik sering mengalami stres, kecemasan, dan depresi lebih tinggi karena tekanan untuk memenuhi standar tidak realistis, yang dapat menyebabkan trauma emosional.
2. Masalah kesehatan fisik
Kebiasaan seperti minum alkohol berlebihan, merokok, dan menghindari perawatan medis kerap dianggap bagian dari maskulinitas, tetapi malah menambah risiko masalah kesehatan fisik.
3. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Toxic masculinity menekankan dominasi laik-laki atas pasangan, yang dapat mengarah pada perilaku kasar dan menciptakan siklus kekerasan dalam rumah tangga.
4. Kekerasan berbasis gender
Dorongan untuk tampil dominan dan agresif dapat memicu kekerasan berbasis gender, seperti pelecehan seksual, karena laik-laki merasa berhak berkuasa atas orang lain.
5. Homofobia dan misogini
Maskulinitas toksik kerap menolak apa pun yang dianggap feminin, memicu homofobia dan misogini, sehingga memperburuk diskriminasi terhadap individu LGBTQ+ dan perempuan.
Baca Juga: 13 Penyebab Masalah Kesehatan Mental, Perlu Waspada!
Apa Saja Cara Mengatasi Toxic Masculinity Itu?
Toxic masculinity penting untuk diatasi karena membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi para laik-laki. Hal tersebut, menurut Psyhc Central, Psychology Today, dan WebMD, pada akhirnya dapat mengurangi dampak buruk maskulinitas toksik pada individu dan masyarakat secara menyeluruh.
Berikut beberapa cara mengatasi toxic masculinity:
1. Dorong ekspresi emosional
Ajak laik-laki untuk mengekspresikan emosi secara terbuka dan bebas dari penilaian, guna menyingkirkan pandangan keliru bahwa menunjukkan emosi adalah kelemahan. Dalam Psychology Today disebutkan bahwa ekspresi emosional ini dapat membina hubungan yang lebih hangat dan saling memahami.
2. Tantang stereotip gender
Tingkatkan kesadaran akan dampak negatif peran dan stereotip gender tradisional melalui lokakarya, diskusi, dan kampanye media yang mendukung kesetaraan gender dan melawan norma-norma merugikan.
3. Dorong hubungan yang sehat
Bangun hubungan yang saling menghormati antara laik-laki dan wanita serta antarlaik-laki. Tekankan pentingnya komunikasi yang baik, persetujuan, dan saling hormat dalam setiap interaksi.
4. Dukung kesehatan mental
Berikan akses dan dukungan bagi laik-laki untuk mengatasi masalah kesehatan mental yang sering terkait dengan maskulinitas toksik, serta dorong mereka mencari bantuan profesional untuk meningkatkan kesejahteraan.
5. Ciptakan ruang aman
Sediakan ruang aman bagi laik-laki untuk berdiskusi tanpa takut dihakimi, seperti kelompok pendukung atau forum daring. Dengan demikian, mereka dapat saling mendukung dan menemukan bentuk maskulinitas yang lebih sehat.
Sebagai penutup, toxic masculinity bukan hanya tentang perilaku sehari-hari, tapi juga berdampak besar pada kesehatan mental laik-laki. Saat laik-laki didorong untuk selalu kuat, menekan emosi, dan menghindari dukungan, mereka malah rentan terhadap stres, kecemasan, hingga depresi.
Memahami apa itu toxic masculinity, mengetahui dampak, dan mencari solusi untuk mengatasinya membuka jalan bagi laik-laki untuk lebih jujur dengan diri sendiri dan orang lain. Di sini, kerentanan bisa menjadi kekuatan, bukan kelemahan.
Melalui Mental Health Month JIVARAGA, diharapkan menjadi momen untuk membuka ruang diskusi, refleksi, dan dukungan bagi mereka yang masih berjuang dengan kesehatan mental. Melalui kesadaran ini, kita bersama-sama berperan dalam membentuk lingkungan yang lebih inklusif dan empatik bagi semua, membantu laik-laki untuk terhubung dengan diri sejati mereka tanpa dibebani oleh tuntutan yang merugikan.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kelas, sesi konsultasi, dan workshop terkait kesehatan mental di JIVARAGA, dapat klik ke:
https://jivaraga.com/jivaraga-space/
Atau, menghubungi JIVARAGA via WA:
Juga, di Instagram:
https://www.instagram.com/jivaragaspace
(Foto: Freepik)