Apa sih yang terlintas di benak saat mendengar kata “maskulinitas”? Mungkin sosok pria kuat, tangguh, dan tidak mudah emosional? Maskulinitas bukan konsep yang kaku. Ia adalah konstruksi sosial yang terus berkembang seiring dengan perubahan norma dan budaya di masyarakat.
Menariknya, tidak hanya ada satu bentuk konsep maskulinitas, melainkan berbagai jenis yang mencerminkan peran dan ekspektasi terhadap laki-laki di berbagai konteks. Apa saja jenis maskulinitas yang ada dan bagaimana perbedaannya?
Apa Itu Konsep Maskulinitas?
Maskulinitas merujuk pada sifat, perilaku, dan peran yang secara sosial dikaitkan dengan laki-laki dalam masyarakat. Konsep ini tidak hanya didasarkan pada ciri fisik atau biologis, tapi juga merupakan konstruksi sosial yang berkembang seiring waktu. Konsep ini dipengaruhi oleh norma budaya, nilai, dan harapan yang ada di masyarakat.
Pada intinya, maskulinitas merujuk pada kualitas dan atribut yang secara budaya diberikan kepada laki-laki. Secara historis, menurut artikel dari Pew Research Center, sifat-sifat seperti kekuatan, ketegasan, dominasi, kemandirian, dan pengendalian emosi telah dikaitkan dengan maskulinitas. Namun, seperti disebutkan di atas, sifat-sifat ini tidak bawaan atau universal. Sifat-sifat ini merupakan konstruksi sosial yang dibentuk oleh norma dan harapan masyarakat.
Di era modern, maskulinitas tidak lagi dipandang sebagai konsep tunggal. Melainkan, meliputi berbagai bentuk yang lebih inklusif. Dalam perkembangan zaman, konsep maskulinitas terus berubah, menciptakan variasi dalam cara laki-laki diekspektasikan untuk berperilaku, berinteraksi, dan menjalani hidup mereka.
Tipe Konsep Maskulinitas

Sebenarnya, ada beberapa tipe maskulinitas. Namun, menurut teori maskulinitas yang dikembangkan oleh sosiolog R.W. Connell, ada empat tipe utama maskulinitas yang sering muncul dalam masyarakat, yaitu:
1. Maskulinitas Hegemonik
Merupakan bentuk maskulinitas dominan yang dikaitkan dengan kekuasaan, ketegasan, dan dominasi. Baik, atas perempuan maupun laki-laki lain yang dianggap kurang maskulin. Ini adalah standar ideal yang diikuti untuk diakui sebagai “pria sejati,” seperti pria yang kuat, berani, dan memiliki kontrol dalam kehidupan.
2. Maskulinitas Bawahan (Subordinated Masculinity)
Merujuk pada laki-laki yang dianggap “kurang maskulin,” seperti mereka yang lebih emosional atau tidak agresif, serta individu dari komunitas LGBTQ+. Maskulinitas ini sering terpinggirkan atau didiskriminasi dalam budaya dominan.
3. Maskulinitas Komplicit (Complicit Masculinity)
Menunjukkan laki-laki yang tidak aktif mendominasi, tapi tetap mendapat keuntungan dari sistem patriarki. Seperti, menikmati hak istimewa laki-laki meskipun mendukung kesetaraan gender.
4. Maskulinitas Marginal (Marginalized Masculinity)
Dikaitkan dengan laki-laki yang menghadapi diskriminasi berdasarkan ras, kelas sosial, atau faktor lainnya. Mereka mungkin tidak memiliki akses yang sama terhadap kekuasaan atau status sosial seperti laki-laki mayoritas, meski mencoba mengikuti standar maskulinitas hegemonik.
Selain keempat konsep tersebut, ada juga dua bentuk maskulinitas yang semakin banyak dibahas dalam konteks modern:
5. Maskulinitas Beracun (Toxic Masculinity)
Toxic masculinity merujuk pada maskulinitas yang mengharuskan laki-laki selalu kuat, menolak kelemahan, dan mendominasi orang lain. Ciri-cirinya termasuk agresi, penolakan terhadap emosi selain kemarahan, dan ketidakmampuan menunjukkan kerentanan.
Konsep maskulinitas ini banyak berkembang terutama di lingkungan masyarakat yang budaya patriarkinya tinggi. Toxic masculinity pun berdampak negatif, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat, dan tekanan mental yang tinggi.
6. Maskulinitas Lembut (Soft Masculinity)
Soft masculinity menekankan kelembutan, empati, dan ekspresi emosional terbuka. Laki-laki dengan soft masculinity tidak perlu mendominasi atau menunjukkan kekuatan fisik, melainkan lebih menonjolkan keberanian dalam mendukung kesetaraan gender dan hubungan interpersonal yang peduli.
Soft masculinity mulai mendapat berkembang sejak akhir abad ke-20, terutama dengan progresifnya fenomena K-pop dan Korean Wave (Hallyu). Dalam budaya K-pop, banyak idola pria yang menampilkan citra maskulinitas yang lebih lembut, ekspresif, dan lebih terbuka dalam menunjukkan perasaan.
K-pop membantu mengubah persepsi tentang maskulinitas, memperkenalkan model laki-laki yang lebih fleksibel, dan membuka ruang untuk mengekspresikan emosi secara lebih terbuka.
Pentingnya Memahami Konsep Maskulinitas
Pentingnya memahami berbagai jenis konsep maskulinitas sangat krusial untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Dengan mengakui keberagaman identitas maskulin, kita dapat menantang stereotip yang merugikan serta memberi ruang bagi pria untuk mengekspresikan diri mereka secara autentik.
Pemahaman ini juga membantu dalam mengatasi masalah seperti maskulinitas toksik, yang seringkali berkontribusi pada perilaku negatif, kekerasan, serta masalah kesehatan mental. Selain itu, menurut Easy Sociology, dengan memahami konsep maskulinitas yang lebih fleksibel, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan mendukung bagi setiap individu, tanpa menghakimi berdasarkan norma tradisional.
JIVARAGA sendiri, melalui berbagai sesi wellnes-nya, berupaya membantu individu, termasuk pria, untuk lebih terbuka dalam mengekspresikan perasaan, mengelola stres, dan mengatasi tekanan sosial yang sering kali menghalangi mereka untuk menjadi versi diri yang lebih autentik.
Dengan memperkenalkan konsep maskulinitas yang lebih inklusif dan sehat, JIVARAGA memberikan ruang bagi laki-laki untuk menemukan keseimbangan dalam hidup mereka dan berperan lebih positif dalam masyarakat.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai berbagai sesi healing di JIVARAGA klik:
Atau, menghubungi JIVARAGA via WA:
Juga, di Instagram:
https://www.instagram.com/jivaragaspace
(Foto: Freepik, Pexels)