You are currently viewing Mengungkap Cerita yang Tersirat: Memahami Dampak dan Cara Mengatasi Warisan Trauma Keluarga

Mengungkap Cerita yang Tersirat: Memahami Dampak dan Cara Mengatasi Warisan Trauma Keluarga

Warisan keluarga tidak selalu berupa harta benda. Ada juga cerita-cerita yang membawa beban emosi mendalam, seperti kesedihan, penyesalan, atau trauma keluarga. Cerita-cerita tersebut tanpa disadari diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, termasuk diri Anda. Warisan emosional atau luka trauma keluarga ini bisa memengaruhi cara seseorang memandang dunia, membentuk hubungan, hingga mengambil keputusan dalam hidupnya.

Jadi, bagaimana sebenarnya trauma ini diwariskan, dan apa yang bisa kita lakukan untuk memutus siklusnya? Simak terus artikel ini.

Trauma Keluarga dari Masa Lalu

Setiap orang tua pasti membawa cerita masa lalu. Selain cerita bahagia, tidak sedikit juga kisah menyakitkan dan menimbulkan trauma keluarga. Trauma keluarga, menurut Psychology Today, mengacu pada luka emosional dan psikologis yang disebabkan peristiwa yang menyedihkan dalam keluarga.

Peristiwa-peristiwa yang menjadi cerita trauma keluarga tersebut dapat berkisar kesedihan yang belum terselesaikan, kehilangan yang mendalam, kehilangan orang yang dicintai secara tiba-tiba, bencana alam. Bahkan, bisa juga bentuk trauma yang lebih berbahaya, seperti kecanduan dan pengabaian emosional kronis.

Masalah kemudian muncul ketika trauma-trauma tersebut tidak terselesaikan atau dibicarakan secara terbuka. Keluarga (biasanya, orang tua) mungkin menghindari membahas pengalaman menyakitkan ini dalam upaya untuk saling melindungi. Namun, ‘keheningan’ ini justru dapat memperparah dampak trauma keluarga.

Trauma keluarga atau warisan luka emosional adalah fenomena yang sering kali terjadi tanpa kita sadari. Orang tua mungkin memiliki perasaan yang mendalam, tapi tidak pernah mengungkapkannya. Seperti, penyesalan atas keputusan hidup mereka, kesedihan atas kehilangan, atau rasa bersalah yang tidak pernah terucap.

Baca Juga: Ketika Rasa Tidak Nyaman dengan Keluarga Sendiri Hadir: Penyebab, Dampak, dan Solusi

Mengapa Trauma Keluarga Sering Terpendam?

Orang tua sering enggan mengutarakan trauma mereka karena merasa bahwa membicarakan hal tersebut dapat membebani anak-anak mereka atau menciptakan ketidaknyamanan dalam keluarga. Mereka sering percaya bahwa menyimpan perasaan itu adalah cara melindungi keluarga dari kesedihan atau rasa sakit yang tidak perlu.

Selain itu, stigma sosial yang menganggap membicarakan trauma sebagai kelemahan. Serta, ketidakmampuan untuk memproses perasaan mereka sendiri, sering kali membuat orang tua memilih untuk menahan diri daripada mencari dukungan atau berbagi cerita.

Trauma yang tidak dibicarakan secara terbuka atau emosi-emosi yang tidak terselesaikan lalu muncul menjadi pola perilaku, cara berpikir, atau respons emosional tertentu. Emosi-emosi tersebut kemudian hadir dan memengaruhi pola asuh mereka.

Contohnya, seorang ibu yang kehilangan orang tuanya di usia muda, tapi tidak benar-benar memproses kesedihan itu. Ia mungkin tidak mengungkapkan rasa kehilangan tersebut, tapi perilaku dan reaksinya terhadap anak-anaknya—misalnya, overprotective atau khawatir berlebihan—secara tidak langsung menunjukkan trauma kecemasan yang dalam.

Atau, seorang ayah yang merasa menyesal dengan pilihan hidupnya, tanpa sadar menanamkan harapan berlebihan pada anak-anaknya. Ia memaksa anak-anaknya meraih sukses yang tidak pernah ia capai. Tanpa sadar, orang tua mentransfer perasaan dan ketegangan ini pada generasi berikutnya.

Dampak Trauma Keluarga pada Anak

TRAUMA KELUARGA ADALAH

Trauma keluarga yang tidak berakhir pada individu yang mengalaminya sering kali “bergema” lintas generasi. Anak-anak sering kali merasakan dampak dari trauma yang diwariskan meskipun mereka tidak mengalami peristiwa tersebut secara langsung.

Fenomena ini dikenal sebagai trauma antargenerasi. Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Jurnal Psikologi dan Psikiatri Anak (The Journal of Child Psychology and Psychiatry) pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa orang tua yang pernah mengalami trauma akan mengalami kesulitan mengelola emosinya dan kesehatan mental yang bermasalah.

Kesulitan tersebut akan memengaruhi cara mereka mengasuh anak-anak mereka. Perilaku ini, pada gilirannya, dapat menyebabkan tantangan emosional dan psikologis bagi anak-anak mereka.

Berikut beberapa dampak trauma keluarga pada anak-anak yang mungkin terjadi:

1. Kecemasan dan rasa tidak aman yang terus-menerus

Anak-anak memiliki kepekaan emosional yang tinggi. Mereka bisa merasakan ketegangan emosional di rumah. Padahal, mereka tidak tahu atau tidak memahami sumbernya.

2. Rendahnya harga diri

Anak-anak yang merasa terabaikan atau tidak dimengerti oleh orang tua mereka sering kali tumbuh dengan perasaan tidak cukup baik atau tidak layak dicintai.

3. Kesulitan membentuk hubungan

Pola komunikasi dan emosi yang tidak sehat dapat terbawa ke hubungan sosial atau romantis anak.

4. Rasa tanggung jawab berlebih

Anak-anak merasa harus mengambil tanggung jawab emosional yang seharusnya ditanggung orang tua. Mereka jadi merasa harus “memperbaiki” situasi emosional orang tua mereka.

5. Trauma antar-generasi

Anak juga dapat menurunkan luka emosional yang tidak terselesaikan.

Baca Juga: Memahami dan Mengatasi Siklus Kebiasaan Menyalahkan Diri Sendiri dengan Terapi Family Constellation

Cara Mengatasi Trauma Keluarga

Meskipun perasaan orang tua yang tidak terungkap dapat memiliki dampak besar, tidak berarti bahwa anak-anak harus terperangkap dalam trauma tersebut. Jika Anda adalah anak, pemutusan siklus trauma keluarga yang diturunkan dapat dimulai dari diri Anda.

Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi warisan trauma keluarga:

1. Menyadari adanya trauma yang diwariskan

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa perasaan orang tua yang tidak diungkapkan mungkin telah membentuk dinamika keluarga tersebut. Kemudian, pahami bahwa trauma yang diwariskan bukanlah kesalahan siapa pun, melainkan hasil dari pengalaman yang belum terselesaikan.

2. Komunikasi terbuka

Selanjutnya, ciptakan ruang bagi setiap anggota keluarga untuk berbicara tentang perasaan mereka tanpa takut dihakimi atau disalahkan. Ini juga berguna mengurangi ketegangan dan memperbaiki hubungan.

3. Mengelola emosi

Sesama anggota keluarga dapat saling belajar cara mengenali dan mengekspresikan emosi dengan sehat. Dengan begitu, dapat lebih peka terhadap perasaan dan kebutuhan emosional masing-masing.

4. Berlatih mindfulness

Menggunakan teknik mindfulness dapat setiap anggota keluarga untuk lebih hadir dalam interaksi sehari-hari tanpa membawa beban masa lalu.

5. Mengikuti terapi Family Constellation

Mencari bantuan profesional, seperti terapis keluarga atau konselor, dapat menjadi langkah penting dalam memproses trauma yang mendalam. Pendekatan seperti family constellation therapy sering digunakan untuk mengidentifikasi pola-pola tak terlihat dalam keluarga yang dapat memengaruhi dinamika antar generasi. Terapi ini akan memberikan perspektif yang lebih jelas tentang bagaimana trauma emosional keluarga berakar.

Jika ingin memahami lebih dalam tentang pola-pola yang diwariskan dalam mengatasi trauma keluarga, Anda dapat mengikuti Workshop Family Constellation bersama Silvia Basuki, Family Constellation Facilitator JIVARAGA.

Workshop ini akan diadakan pada Sabtu, 30 November 2024, pukul 14.00 – 15.00 WIB, bertempat di JIVARAGA Space. Melalui sesi ini, Anda akan diajak mengeksplorasi akar emosi dan dinamika keluarga secara mendalam.

Selain workshop, Anda juga dapat melanjutkan perjalanan penyembuhan dengan sesi konsultasi terapi personal Family Constellation bersama Silvia. Jangan lewatkan kesempatan ini untuk menciptakan harmoni dan kebebasan emosional bagi Anda dan keluarga.

Untuk informasi lebih lanjut, klik ke:

https://jivaraga.com/jivaraga-space/

Atau, menghubungi JIVARAGA via WA:

https://wa.me/6281188811338

Juga, di Instagram:

https://www.instagram.com/jivaragaspace

(Foto: Freepik)

Leave a Reply