Pembahasan mengenai perundungan atau bullying kembali mencuat setelah kejadian di sebuah sekolah di kawasan Serpong, Tangerang Selatan. Namun, belum usai mencerna dampak dari peristiwa tersebut, masyarakat kembali dikejutkan oleh berita serupa dari sebuah pondok pesantren di Kediri. Kejadian yang berulang ini adalah gambaran bahwa bullying bukanlah sekadar isu sesaat dan terus menjadi masalah di masyarakat.
Bullying adalah Pola Perilaku dan Bukan Insiden
Menurut American Psychological Association (APA), bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan dengan niat menyakiti, merendahkan, atau mengintimidasi orang lain. Hal ini seringkali terjadi secara berulang dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. Korban jadi merasa tidak nyaman, ada yang sampai mengalami cedera, bahkan tewas.
Definisi serupa juga diungkapkan UNICEF mengenai bullying, yaitu pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Anak-anak yang melakukan bullying adalah biasanyadari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti lebih besar, kuat, atau dianggap populer, sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.
Bullying dapat dibagi menjadi tiga bentuk utama: fisik, verbal, dan relasional. Bullying fisik melibatkan tindakan kekerasan langsung, seperti pukulan atau tendangan. Sedangkan, bullying adalah verbal mencakup pelecehan kata-kata, ejekan, atau ancaman. Dan, bullying relasional adalah berkaitan dengan upaya untuk merusak hubungan sosial atau isolasi sosial. Bullying dapat terjadi di berbagai lingkungan, termasuk di sekolah, tempat kerja, bahkan di dunia maya.
Baca Juga: Mental Health adalah Menjaga Keseimbangan Pikiran, Jiwa, dan Perasaan
Penyebab Bullying adalah Mencakup Beberapa Faktor
Bullying adalah masalah serius yang dapat merusak kesejahteraan emosional dan mental seseorang. Penyebab perilaku ini berasal dari berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu penyebab utama bullying adalah ketidaksetaraan kekuatan. Situasi ketika terdapat ketidakseimbangan kekuasaan, yaitu ketika satu invidu memiliki kontrol atau pengaruh yang signifikan atas individu lain, cenderung menjadi pemicu perilaku bullying.
Penelitian Pellegrini dan Long, “A Longitudinal Study of Ullying, Dominance, and Victimization during the Transition from Primary School through Secondary School” (2002) menemukan bahwa ketika terdapat ketidaksetaraan kekuatan antara pelaku dan korban, peluang terjadinya bullying semakin tinggi.
Selain itu, faktor-faktor psikologis juga berkontribusi pada fenomena bullying. Seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengelola emosi atau memiliki masalah kepercayaan diri menjadi lebih rentan terhadap perilaku bullying. Rasa tidak aman atau ketidakpastian tentang identitas diri dapat memicu dorongan untuk mendominasi orang lain sebagai cara untuk merasa lebih kuat atau dihormati.
Lingkungan juga berperan besar dalam membentuk perilaku bullying. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang kurang mendukung atau, bahkan, penuh dengan kekerasan, bullying adalah salah satu cara yang mungkin dilakukan untuk mengekspresikan frustasi dan ketidakbahagiaan.
Penelitian Swearer et al. yang berjudul “What Can Be Done About School Bullying? Linking Research to Educational Practice” (2010) menyoroti bahwa lingkungan sekitar, terutama kekerasan di rumah atau komunitas, dapat menjadi pemicu perilaku bullying. Anak-anak yang terpapar pada kekerasan di lingkungan mereka cenderung menunjukkan perilaku agresif sebagai cara untuk mengekspresikan atau mengatasi trauma yang mereka alami.
Tidak lupa, kehadiran media sosial juga salah satu penyebabnya. Sameer Hinduja dan Justin W. Patchin, peneliti di bidang keamanan siber dan pendiri Cyberbullying Research Center, menyoroti peran media dan teknologi dalam meningkatnya kasus cyberbullying. Anonimitas yang ditawarkan oleh platform online dapat memberikan keberanian kepada pelaku bullying untuk mengekspresikan kekerasan tanpa konsekuensi langsung.
Baca Juga: 13 Penyebab Masalah Kesehatan Mental, Perlu Waspada!
Mengapa Bullying Sering Terjadi di Sekolah?
Suatu hal yang ironis adalah bullying kerap terjadi di sekolah atau institusi pendidikan lainnya, yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Keberadaan bullying di dalam lingkungan pendidikan tidak hanya merugikan korban secara fisik dan emosional, tapi juga merusak atmosfer belajar yang seharusnya positif. Berikut beberapa faktor pemicu bullying sering terjadi di sekolah.
1. Ketidaksetaraan sosial dan perbedaan sekolah adalah alasan bullying sering terjadi di sekolah
Faktor ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, termasuk perbedaan fisik, ekonomi, suku, agama, atau bahkan ketidakmampuan dalam memahami materi pelajaran. Siswa yang dianggap berbeda sering kali menjadi sasaran pelecehan karena perbedaan tersebut dianggap sebagai “alasan” untuk melakukan bullying. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk mengedukasi siswa tentang nilai-nilai keberagaman dan mempromosikan budaya inklusif.
2. Kurang pengawasan dan keterlibatan pihak
Kurangnya pengawasan dan ketidakberdayaan staf sekolah dapat menciptakan ruang yang ideal bagi kejadian bullying. Dalam penelitian yang dipimpin Jacinta Francis, dengan judul “School Built Environments and Bullying Behaviour: A Conceptual Model Based on Qualitative Interviews” (2022), ditemukan bahwa lingkungan sekolah yang kurang terawasi cenderung memiliki tingkat bullying yang tinggi. Peningkatan peran guru dan staf sekolah dalam mengawasi aktivitas siswa di luar kelas menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mengurangi peluang terjadinya bullying.
3. Ketidakmampuan mengelola konflik
Anak-anak dengan kesulitan emosional atau masalah kepercayaan diri mungkin cenderung mengekspresikan diri mereka melalui perilaku agresif. Bagi siswa yang belum memiliki keterampilan yang memadai dalam mengelola konflik, cenderung menyalurkan ketidaknyamanan atau frustasi mereka melalui perilaku bullying.
Baca Juga: Mindfulness adalah Seni Menikmati Setiap Momen di Tengah Kesibukan
Langkah Menghadapi Bullying
Selalu ditekankan bahwa mengatasi bullying melibatkan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dorothy Espelage, Ph.D., seorang ahli psikologi pendidikan dari University of North Carolina, melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa pencegahan bullying yang efektif melibatkan kombinasi antara intervensi di tingkat individu dan lingkungan.
Di tingkat individu, menurut Dorothy, program pelatihan keterampilan sosial membantu anak-anak dan remaja untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi dengan baik dan mengelola konflik dengan cara yang sehat. Sementara itu, di tingkat lingkungan, peran sekolah sangat penting. Program anti-bullying yang melibatkan semua pihak di sekolah, termasuk siswa, guru, dan staf, dapat menciptakan budaya untuk menghormati perbedaan.
Tidak kalah pentingnya adalah peran keluarga dalam mengatasi bullying. Karena, bullying tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, tapi juga dapat bersumber dari dinamika keluarga. Situasi konflik, kurangnya dukungan, bahkan kekerasan dalam lingkungan keluarga dapat menciptakan stres psikologis yang mendorong seseorang untuk mengekspresikan ketidakpuasan atau agresi terhadap orang lain, salah satunya adalah melalui bullying.
Oleh karena itu, dinamika keluarga adalah penting untuk dipahami pengaruhnya sebagai faktor risiko dan mencari solusi untuk mencegah dan mengatasi bullying.
Baca Juga: 6 Cara Menemukan Kunci Kebahagiaan di Era Digital yang Semakin Canggih
Terapi Keluarga adalah Salah Satu Cara Menangani Bullying
Kadang, orang sulit memahami dinamika keluarga karena setiap keluarga memiliki keunikan, norma, dan nilai-nilai yang kompleks. Interaksi antaranggota keluarga dipengaruhi hubungan, kebiasaan, dan pola komunikasi yang tidak selalu mudah dimengerti oleh orang luar. Selain itu, faktor seperti ketidaktransparanan dalam menyampaikan isu-isu internal keluarga, dinamika kekuasaan, dan ekspektasi tradisional dapat menyulitkan untuk memahami konteks dan motivasi di balik perilaku keluarga.
Kesulitan untuk memahami dinamika keluarga dalam bullying dapat coba diatasi melalui sebuah terapi keluarga sebagai wadah yang terstruktur dan aman. Pada terapi ini, Anda akan dibantu membantu membuka saluran komunikasi yang sehat di antara anggota keluarga. Juga, memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing dan mengidentifikasi pola interaksi yang ada dalam keluarga.
Jivaraga, sebagai rumah kesehatan holistik, menyediakan program terapi keluarga Family Constellation. Terapi ini dapat menjadi solusi efektif untuk membantu keluarga mengatasi masalah bullying. Program ini dirancang untuk menciptakan ruang terstruktur untuk menjelajahi dan memahami sejarah dan dinamika internal keluarga mereka.
Untuk mendalami mengenai Family Constellation, Anda dapat mengikuti “Special Workshop Jivaraga: Family Constellation” pada hari Sabtu, 2 Maret 2024, di Jivaraga Space, Kuningan, Jakarta Selatan. Workshop ini dirancang khusus untuk memberikan wawasan mendalam tentang konsep dan penerapan Family Constellation dalam konteks terapi keluarga. Silvia Basuki, Family & Couple Counselor, Family Constelation Therapist Jivaraga akan memandu workshop melalui sesi-sesi interaktifnya.
Melalui workshop ini, peserta akan memiliki ruang untuk belajar lebih dekat mengenai prinsip-prinsip dasar Family Constellation. Anda pun akan melihat bagaimana pendekatan ini dapat membantu memahami dinamika keluarga dan tantangan yang mungkin dihadapi, termasuk masalah bullying. Jangan lewatkan kesempatan ini! Daftarkan diri Anda di WhatsApp 081188811338.
Pingback: Paahami Bentuk-Bentuk Bullying dan Cara Menghindarinya - Jivaraga
Pingback: 5 Dampak Bullying dan Upaya Pemulihan dengan Prinsip Holistik - Jivaraga
Pingback: Ciri-Ciri Korban Bullying untuk Diperhatikan Orang Tua dan Guru - Jivaraga