You are currently viewing 12 Tradisi Unik Menyambut Puasa di Berbagai Daerah Nusantara
Sumber: Piaxabay

12 Tradisi Unik Menyambut Puasa di Berbagai Daerah Nusantara

Sebagai negara muslim terbesar di dunia, datangnya bulan Ramadan selalu disambut dengan meriah. Selain dari aspek religius, keberagaman budaya nusantara Indonesia menghadirkan serangkaian tradisi menyambut puasa yang unik di pelosok negeri. Inilah momen ketika perbedaan budaya dan kepercayaan bersatu dalam merayakan ketakwaan, kebersihan spiritual, dan kehangatan persaudaraan yang menjadi warisan luhur bangsa Indonesia.

Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki cara unik dalam menyambut bulan Ramadan. Tradisi-tradisi unik menyambut puasa Ramadan tidak hanya wujud penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan, tapi juga cerminan dari semangat gotong royong dan kebersamaan khas kehidupan bangsa Indonesia.

12 Tradisi Menyambut Puasa Ramadan dari Berbagai Daerah

tradisi menyambut puasa 2
Sumber: Freepik

Berikut 10 tradisi unik yang menghiasai perayaan menyambut puasa Ramadan di Indonesia. Tradisi-tradisi ini mengungkapkan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang menjadikan bulan suci ini begitu istimewa bagi setiap lapisan masyarakat.

1. Meugang  (Aceh)

Sebagai provinsi yang dijuluki “Serambi Mekah”, Aceh selalu menyambut puasa bulan Ramadan dengan sejumlah tradisi budaya, yaitu Meugang. Dalam tradisi ini, masyarakat Aceh memasak dan menghidangkan darig sapi yang mereka beli atau sembelih sendiri. Daging yang telah dimasak tersebut, disajikan dan disantap bersama keluarga, rekan kerja (meugang kantor), warga desa (meugang di gampong), hingga anak-anak yatim piatu.

Tradisi ini telah dilaksanakan secara turun-temurun sejak abad ke-14, yaitu pada masa kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Pada saat itu, Sultan Iskandar Muda memerintahkan untuk memotong hewan (sapi) dalam sejumlah besar dan membagikan dagingnya ke seluruh rakyat Aceh. Hal ini sebagai ungkapan rasa syukur dan tanda terima kasih kepada rakyatnya.

Sejak saat itu, meugang tumbuh menjadi warisan budaya di kalangan masyarakat Aceh. Bahkan, meugang tidak hanya dilakukan ketika menyambut bulan Ramadan, tapi juga pada perayaan Idulfitri dan Iduladha. Pembagian hidangan berbahan dasar daging sapi ini menunjukkan semangat kebahagiaan melalui sedekah dan kebersamaan.

Baca Juga: Sejarah Valentine dan Maknanya: Perjalanan Cinta dan Tradisi

2. Malamang (Sumatra Barat)

Malamang, sebagai bagian dari tradisi turun-temurun masyarakat Sumatra Barat, secara khusus dilakukan oleh kaum ibu-ibu dalam rangka menyambut bulan Ramadan. Nama “Malamang” sendiri berasal dari kata “memasak lemang,” yang merupakan sajian terbuat dari beras ketan putih dan santan yang dikukus di dalam batang bambu muda.

Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun selama ratusan tahun. Bermula dari saran Syekh Burhanuddin, pembawa ajaran Islam di Minangkabau, yang mendorong masyarakat untuk menyajikan lemang ketika membagikan makanan sebagai tanda kebersihan dan kehalalan.

Tradisi membuat lemang ini populer di beberapa daerah, seperti Padang, Pariaman, dan Painan. Tak hanya menjadi bagian dari persiapan menjelang bulan Ramadan, Malamang juga tetap menjadi tradisi berbagai perayaan besar serta acara keluarga di daerah Pariaman dan Agam. Tujuan utama dari tradisi unik ini tetap konsisten: berkumpul bersama sanak saudara dan mempererat tali kekeluargaan, menjadikan setiap sajian lemang sebagai simbol keharmonisan dan kebersamaan di tengah keragaman budaya Minangkabau.

3. Pacu Jalur (Riau)

Rewrite teks berikut menjadi satu kesatuan teks: Di Riau, ada tradisi yang seru dan penuh kekeluargaan yang dijalankan sebagai bagian dari menyambut bulan Ramadan, yaitu Pacu Jalur. Tradisi  yang diadakan oleh masyarakat di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, ini merupakan perlombaan dayung perahu berukuran 40 meter, diisi oleh 40 hingga 60 orang. Perlombaan ini berlangsung di Sungai Kuantan. Perahu-perahu yang telah dirias bersaing dalam kecepatan dengan puluhan pria yang mendayungnya.

Nama “Pacu Jalur” sendiri berasal dari kata “Jalur,” yang berarti perahu dalam bahasa setempat. Awalnya, tradisi ini menjadi bagian dari perayaan menyambut bulan Ramadan dan hari besar Islam di Kabupaten Kuantan Singingi, tetapi kini juga dilaksanakan sebagai bagian dari peringatan Hari Kemerdekaan RI. Jika Anda berkunjung ke Riau, jangan lewatkan kesempatan untuk menyaksikan tradisi yang sangat seru ini!

4. Munggahan (Jawa Barat)

Munggahan adalah sebuah tradisi suku Sunda yang melibatkan pertemuan dan makan bersama dengan keluarga atau para tetangga menjelang bulan Ramadan. Tradisi ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT, membersihkan diri, dan terhindar dari perbuatan tidak. Munggahan biasanya dilakukan dalam bentuk saling mengunjungi dan makan bersama. Munggahan juga menjadi kesempatan untuk saling bermaaf-maafan dan mempererat tali silaturahmi di antara masyarakat. Acara munggahan juga melibatkan ziarah kubur dan membersihkan tempat ibadah.

Munggahan biasanya dilaksanakan beberapa hari sebelum Ramadan dimulai, menciptakan atmosfer kebersamaan dan kegembiraan di komunitas setempat. Tradisi ini tidak hanya menciptakan persiapan fisik dalam menyambut Ramadan, tetapi juga menciptakan kehangatan emosional dan rohaniah di antara warga Jawa Barat.

Baca Juga: Perayaan Hari Valentine adalah Beragam Maknanya dari Berbagai Sudut Pandang

5. Nyadran (Jawa Tengah)

Nyadran memiliki peran penting dalam budaya masyarakat Jawa Tengah, menjadi momentum untuk menghormati leluhur dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Acara ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu kenduri dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, doa bersama, dan diakhiri dengan makan bersama di tepi jalan dengan menggunakan tikar, sambil menikmati hidangan tradisional. Nyadran biasanya diadakan sebulan sebelum bulan puasa, khususnya oleh masyarakat Jawa Tengah di daerah Magelang, Temanggung, dan Kendal.

Keunikan dari tradisi ini terletak pada kenduri makan bersama dari hasil pertanian dan peternakan warga yang disajikan serempak di atas daun pisang. Nyadran bermakna pembersihan diri menjelang bulan suci, sekaligus sebagai wujud bakti kepada anggota keluarga yang telah meninggal, dengan doa-doa yang diucapkan sambil membersihkan makam. Tradisi Nyadran menjadi simbol kebersihan spiritual dan penghormatan kepada nenek moyang.

6. Megengan (Jawa Timur)

Tradisi yang dikenal dengan nama Megengan membawa makna mendalam bagi warga Jawa Timur, yang mengartikannya sebagai “menahan” dan dianggap sebagai persiapan spiritual menjelang bulan Ramadan. Megengan umumnya ditandai dengan selamatan yang diadakan di masjid atau mushola, dihadiri oleh warga di sekitarnya.

Saat Megengan, seorang ustadz memimpin doa untuk memohon keselamatan dan kekuatan dalam menjalankan ibadah puasa. Peserta yang hadir dalam selamatan Megengan membawa nasi yang dikenal sebagai sego berkat, berisi sayur, lauk pauk, dan kue khas Jawa Timur. Setelah pembacaan doa, setiap orang dapat mengambil sego berkat dari siapa pun dan menyantapnya bersama-sama.

Tradisi ini diyakini membawa berbagai nilai positif, seperti membawa rezeki, menanamkan sifat ikhlas, dan memupuk kebersamaan antar sesama umat Muslim. Megengan bukan hanya sekadar ritual persiapan fisik, tetapi juga sebagai momen untuk menyatukan hati dan menjalani Ramadan dengan penuh keberkahan serta semangat kebersamaan.

tradisi menyambut puasa 2
Sumber: Pexels

7. Nyorog (Betawi)

Tradisi Betawi yang dikenal sebagai Nyorog dilakukan dengan membagikan bingkisan kepada saudara-saudara menjelang bulan puasa dan Idulfitri. Tradisi ini, yang dilaksanakan oleh warga Betawi di Jakarta, umumnya dimulai dengan kunjungan anggota keluarga termuda kepada saudara-saudara yang lebih tua dan tokoh yang dihormati di kampungnya. Mereka menyampaikan bingkisan berupa sembako dan makanan khas Betawi sebagai bentuk saling berbagi dan memperkuat tali kekeluargaan.

Pada awalnya, bingkisan Nyorog diletakkan dalam rantang yang terbuat dari anyaman daun pandan. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat Betawi kini menggunakan rantang besi atau kotak makan untuk menyampaikan bingkisan Nyorog.

Beberapa makanan khas Betawi yang sering dibagikan dalam tradisi Nyorog melibatkan sayur gabus pucung, ikan bandeng, dan olahan daging kerbau. Keseluruhan tradisi ini menciptakan suasana kebersamaan, keharmonisan, dan kehangatan di antara masyarakat Betawi, menjadikan Nyorog sebagai bagian penting dari identitas budaya mereka.

8. Apeman (Yogyakarta)

Setiap tahun, masyarakat Yogyakarta melaksanakan tradisi Apeman menjelang kedatangan bulan suci Ramadan. Sebagai sebuah kota destinasi wisata kelas dunia, tradisi yang awalnya merupakan ungkapan rasa terima kasih dan syukur kepada Yang Maha Kuasa ini juga dihelat di Jalan Malioboro dan Jalan Sosrowijayan, menarik perhatian para wisatawan.

Proses tradisi Apeman melibatkan pembuatan ratusan kue apem secara tradisional oleh anggota keluarga Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Dimulai dari tahap ngebluk jeladren atau pembuatan adonan, kemudian dilanjutkan dengan proses ngapem atau memasak apem. Tradisi ini diawasi langsung oleh permaisuri sultan, dan diikuti oleh para perempuan dari keluarga keraton lainnya.

Keseluruhan acara tidak hanya menjadi ekspresi syukur dan tradisi keluarga keraton, tetapi juga menjadi daya tarik bagi para pengunjung yang ingin merasakan kekayaan budaya dan tradisional kota Yogyakarta.

Baca Juga: Efek dari Kurang Tidur, Ini 5 Langkah Mengatasi Kulit Kusam

9. Dugderan (Semarang)

Tradisi Dugderan tidak lagi terbatas sebagai ritual umat Muslim Semarang menjelang bulan puasa, melainkan telah menjadi sebuah festival tahunan yang menjadi ciri khas kota Semarang. Festival ini menjadi magnet bagi berbagai lapisan masyarakat kota, merayakan keanekaragaman etnis, budaya, kuliner, dan seni yang ada di Semarang.

Istilah “Dugderan” berasal dari dua kata, yakni “dug” yang mencerminkan suara bedug, dan “deran” yang menggambarkan suara mercon. Perayaan ini identik dengan arak-arakan yang diwarnai oleh suara bedug dan mercon.

Tradisi yang telah diselenggarakan sejak tahun 1882 ini dimeriahkan oleh Karnaval Warak Ngendog atau mengarak simbol hewan menyerupai kambing dengan kepala naga. Rute Karnaval Warak Ngendog adalah menyeberangi halaman Kantor Balai Kota hingga mencapai Masjid Agung Semarang. Selesai karnaval, dilanjutkan dengan pembacaan suhuf halaqah dan penabuhan bedug.

Dugderan bukan hanya sebuah acara keagamaan, melainkan juga sebuah perayaan yang memajukan toleransi, kebersamaan, dan keindahan kota Semarang. Tradisi ini menciptakan festival yang menggembirakan untuk semua warganya.

10. Balimau (Minangkabau)

Balimau merupakan tradisi turun-temurun oleh masyarakat Minangkabau berupa ritual pemandian yang mengandung makna mendalam. Tradisi ini melibatkan individu untuk mandi dengan jeruk nipis. Maknanya idak hanya untuk membersihkan diri secara lahir, melainkan juga untuk mencapai kesucian batin menjelang memasuki bulan suci Ramadan. Pelaksanaan Balimau dilakukan satu atau dua hari sebelum memasuki bulan Ramadan dan diselenggarakan di kawasan yang dilalui oleh sungai atau tempat-tempat pemandian khusus.

Proses pemandian dengan jeruk nipis dalam Balimau bukan hanya sekadar tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan upaya membersihkan hati dan jiwa. Jeruk nipis dianggap sebagai simbol kesegaran dan kesucian. Tradisi ini menekankan pentingnya persiapan spiritual sebelum memasuki bulan Ramadan, membangun kebersihan lahir batin untuk menjalani ibadah.

Balimau tidak hanya menjadi sekadar ritual, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal dan nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau. Selain menjadi cara untuk membersihkan diri secara fisik, tradisi ini juga jadi momen menyatukan komunitas dan menjalin keharmonisan di antara sesama. Dengan kesederhanaan Balimau, masyarakat Minangkabau merayakan keberagaman budaya dan spiritualitas dalam menyambut bulan suci Ramadan.

11. Padusan (Boyolali)

Tradisi Padusan, yang telah mengakar sejak zaman Wali Songo di Boyolali, menjadi suatu warisan turun-temurun sebagai bentuk persiapan menyambut bulan Ramadan. Pada awalnya, tradisi ini melibatkan mendekati sumber mata air yang dianggap membawa berkat dan rejeki. Masyarakat lalu membersihkan diri secara fisik dan spiritual di tempat tersebut.

Uniknya, Padusan membedakan diri dari tradisi pemandian lainnya karena dilaksanakan secara individu. Pelaku Padusan harus menyendiri, tanpa kehadiran orang lain, sehingga dapat merenung dan merefleksikan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan di masa lampau. Proses ini diyakini masyarakat Boyolali meyakini bahwa melalui Padusan, mereka dapat memasuki bulan Ramadan dengan niat yang tulus dan jiwa yang bersih.

Pendekatan individual dalam Padusan menunjukkan komitmen untuk menjalani perjalanan spiritual dan membersihkan hati sebagai persiapan menyambut bulan Ramadan yang penuh berkah. Dengan tradisi ini, masyarakat Boyolali mewarisi nilai-nilai kesucian dan kebersihan batin sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka.

12. Kirab Dandangan (Kudus)

Kirab Dandangan, sebuah festival yang digelar oleh masyarakat Kudus, menandai awal ibadah puasa dengan keunikan dan kegembiraan. Nama “dandangan” atau “dhandhangan” diambil dari suara bedug masjid yang menandai awal bulan Ramadan.

Awalnya, tradisi ini dilakukan oleh para santri yang menanti pengumuman awal puasa dari Sunan Kudus di Masjid Menara Kudus. Kesempatan ini kemudian menjadi ajang bagi pedagang lokal untuk berjualan di sekitar masjid, mengubah kirab menjadi momen berkumpulnya warga sebelum memasuki bulan puasa.

Selama kirab, desa-desa di Kudus mengarak hasil karya mereka dari Jalan Kiai Telingsing menuju Masjid Menara Kudus. Puncak dari tradisi Kirab Dandangan mencakup pementasan teatrikal sejarah perayaan Dandangan, yang dipersembahkan oleh warga Kudus. Selain “memamerkan” kehebatan desa-desa, acara ini juga merupakan perayaan budaya yang mengukuhkan identitas lokal dan kebersamaan masyarakat Kudus.

Baca Juga: Tambah Usia dengan Elegan: 5 Kebiasaan Baik untuk Hidup yang Berkualitas

Itulah berbagai tradisi unik menyambut bulan puasa yang kaya warna dari berbagai daerah di Indonesia. Keunikan dan keberagaman budaya yang tercermin dalam tradisi-tradisi ini menggambarkan kekayaan warisan lokal, sekaligus tetap menghormati nilai-nilai keagamaan. Apakah Anda juga memiliki tradisi menyambut bulan puasa yang unik di lingkungan Anda?

This Post Has 6 Comments

Comments are closed.